Pararel dengan konsep Ronggowarsito yang menyatakan bahwa didalam nafsu itu ada sukma, Danah Zohar dan Ian Marshal mengetengahkan ide besarnya bahwa: “Saat ini, pada akhir abad kedua puluh, serangkaian data ilmiah terbaru, yang sejauh ini belum banyak dibahas, menunjukkan adanya “Q” jenis ketiga. Gambaran utuh kecerdasan manusia dapat dilengkapi dengan perbincangan mengenai kecerdasan spiritual-disingkat SQ. SQ yang saya maksudkan adalah kecerdasan untuk menanggapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk mendapatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, SQ adalah merupakan kecerdasan tertinggi.
Baik konsep Ronggowarsito dengan istilah sukma maupun Danah Zohar & Ian Marshall dengan istilah SQ nya, keduanya berbicara tentang substansi yang sama. Bahwa, manusia itu pada dasarnya adalah makhluk spiritual. Sebagai makhluk spiritual, manusia mampu merasakan suatu kerinduan untuk melihat hidup kita dalam konteks yang lebih luas dan bermakna. SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi. SQ memberi kita rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan cinta. Kita menggunakan SQ untuk bergulat dengan ihwal baik dan jahat, serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud-untuk bermimpi, bercita-cita, dan mengangkat diri kita dari kerendahan. SQ mengintegrasikan semua kecerdasan kita. SQ menjadikan kita makhluk yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Danah Zohar & Ian Marshall banyak berbicara tentang Jiwa yang diistilahkan sebagai SQ dengan mengaitkannya dengan bukti-bukti ilmiah, sementara Ronggowarsito banyak mengungkapkan Jiwa dari aspek Metafisik. Walaupun berbeda dalam sudut pandang, baik Ronggowarsito maupun Danah Zohar & Ian Marshall menempatkan Jiwa sebagai Pusat atau Inti dari manusia. Untuk lebih jelasnya, marilah kita ikuti pandangan kedua mazhab psikologi manusia ini secara lebih jauh.
Yang pertama, mari kita simak terlebih dahulu dengan apa yang disajikan oleh Danah Zohar & Ian Marshall. Pasangan suami istri ini lewat buku internasional best sellernya “SQ”, banyak mengulas Jiwa atau Pusat Eksistensi manusia dengan kajian-kajian bersifat ilmiah, aspek neuorologis, psikologi dan fisika. Menurutnya, ada jenis kecerdasan selain IQ dan EQ, yaitu kecerdasan yang memberi kita makna, yang melakukan kontekstualisasi, dan bersifat transformatif. Danah Zohar & Ian Marshall memperkenalkan kemampuan ini dengan istilah “kecerdasan spiritual” atau SQ. Dengan kecerdasan ini manusia dimungkinkan untuk berpikir kreatif, berwawasan dalam, dan intuitif.
Kecerdasan spiritual menyebabkan kita mampu berpikir menyatukan (unitive thinking). Kesadaran yang menangkap ruang itu sebagai keutuhan. Lalu bagaimana kemampuan ini bisa dimiliki manusia?
Penelitian yang dipimpin oleh Wolf Singer dan Charles Gray dari Frankfurt menemukan fakta, bahwa ketika seseorang mencerap suatu benda, misalkan sebuah gelas kopi, maka sel-sel saraf di setiap bagian tertentu dari otak yang terlibat dalam proses tersebut berosilasi secara seragam, dengan frekuensi 35-45 Hz. Osilasi sinkron ini menyatukan respons cerapan yang berbeda-beda terhadap gelas tersebut – bentuknya, warnanya, tingginya, dan sebagainya – dan memberi kita pengalaman tentang benda yang utuh dan solid.
Lebih lanjut, seperti yang ditulis oleh Danah Zohar dan Ian Marshall – terdapat bukti kuat bahwa osilasi sel saraf sinkron pada rentang 40 Hz:
• Mengantar pemrosesan informasi sadar antara system saraf seri dan pararel di dalam otak, memungkinkan sejenis koordinasi yang telah diperlihatkan dalam percobaan permainan catur, atau dalam hubungan IQ-EQ yang digambarkan oleh Damasio.
• Kemungkinan besar merupakan basis saraf (neural basis) bagi kesadaran itu sendiri dan bagi seluruh pengalaman – sadar, termasuk persepsi akan benda, akan makna, dan kemampuan dalam membingkai dan membingkai ulang pengalaman.
• Merupakan basis saraf kecerdasan unitif yang lebih tinggi, yang dalam buku international best sellernya yang berjudul SQ disebut spiritual intelligence (kecerdasan spiritual).
Jiwa Adalah Pusat Eksistensi Manusia
Walaupun tubuh adalah bagian dari manusia yang paling terlihat dan jelas, bagian dari manusia yang bergerak disekitar dunia fisik. Tetapi sesungguhnya tubuh adalah bagian yang paling tidak signifikan dalam diri. Karena tubuh hanyalah sarana yang Anda tempati, wadah bagi jiwa. Tubuh diperlukan agar dapat membuat segala sesuatu terjadi didunia fisik dan memperoleh hasil. Tetapi kita jauh
Baik tradisi barat maupun timur sepakat bahwa Jiwa adalah pusat dari eksistensi manusia. Dan secara cerdas baik Ronggowarsito maupun Ian Marshall dan Danah Zohar telah menyampaikan hal ini dalam model yang sama, bahwa:
Ada tiga kecerdasan dasar manusia (rasional, emosional, dan spiritual), tiga pemikiran (seri, asosiatif, dan penyatu), tiga jalan dasar pengetahuan (primer, sekunder, dan tersier), dan tiga tingkatan diri (pinggiran – ego personal, tengah-assosiatif dan interpersonal, pusat-transpersonal).
Pada hakikatnya,
Baik konsep Timur Tradisional (yang diwakili oleh pemikiran Ronggowarsito) maupun konsep Barat Modern (yang diungkapkan secara ilmiah oleh Danah Zohar & Ian Marshall) sepakat bahwa pusat Diri atau Eksistensi Manusia adalah Jiwa atau Roh.
Dimensi Metafisik Kesadaran,
Walaupun Penelitian Neuropsychologia mutakhir mengenai osilasi saraf 40 Hz cukup memuaskan dalam menjelaskan bagaimana Pikiran Sadar timbul, namun sebagus-bagusnya mereka mencoba menguak spiritualitas manusia – mereka masih berpijak pada perspektif materialistic belaka. Ilmu pengetahuan modern belum menyentuh dimensi Transendensi dari Kesadaran itu sendiri, belum mengungkapkan fenomena metafisika Kesadaran. Padahal Kesadaran manusia, adalah fenomena yang tidak dapat dilepaskan juga dengan hal yang bersifat metafisika. Ilmuwan bisa saja menjelaskan, bahwa Pikiran Sadar – muncul dari hasil osilasi koheren 40 Hz dari sel saraf semata akan tetapi mereka tidak akan mampu menjawab sebuah pertanyaan – “Bagaimana otak dapat berosilasi koheren 40 Hz dan menimbulkan pikiran sadar?
Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman tentang Kesadaran secara lebih utuh – kita memerlukan pengetahuan yang bersifat metafisika. Kesadaran adalah proses transenden-bahwa kesadaran kita berhubungan dengan sebuah realitas yang lebih dalam daripada sekedar hubungan dan vibrasi sel-sel saraf belaka. Untuk keperluan yang lebih holistic ini, saya mengajak Anda menyimak pemikiran Psikologi Transpersonal dari seorang sufi Jawa – Ronggowarsito tentang “Baitul Makmur”.
Singgasana Baitul Makmur: Lebih Dalam Lagi Dengan “Kesadaran”
Jika kita mencermati konsepsi Baitul Makmur Ronggowarsito maka kita akan dituntun lebih jauh tentang hubungan eksistensi Kesadaran/Kecerdasan Manusia dengan eksistensi yang lebih dalam (esoteric). Kita akan menemukan titik terang yang lebih detail dengan apa yang disebut oleh Danah Zohar & Ian Marshall dengan Sumber (Lumpur) dalam Teratai Diri Dasar (SQ : Model Baru Tentang Diri, hal 108).
Sekarang,
Ambil Posisi santai, biarkanlah tubuh Anda menjadi tenang, pernafasan Anda menjadi teratur, pikiran Anda menjadi terkendali. Heningkan pikiran Anda dan kemudian renungkan konsepsi “Baitul Makmur “ – Ronggowarsito berikut ini, bahwa:
“……dalam sukma/jiwa ada rahsa, dan dalam rahsa ada AKU, tidak ada Tuhan kecuali AKU, DZAT yang meliputi semua keadaan”.
Fokuskan Kesadaran Anda pada renungan ini, baru Anda lanjutkan membaca bagian berikut buku ini
Mari kita lanjutkan diskusi kita untuk Masuk Lebih Jauh ke Dalam Diri,
Didalam model Baitul Makmur Ronggowarsito kita menemukan satu terminologi baru: AKU. Yang kurang lebih pararel dengan istilah “Sumber” – “Lumpur” dalam model Teratai Diri dari Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya yang berjudul SQ. Walaupun Zohar & Marshall telah menyinggung perihal “Akar” dari Segala Eksistensi ini, namun mereka tidak membahasnya secara lebih jelas, oleh karena itulah untuk kepentingan pendalaman ini - saya mengajak Anda untuk menoleh pada model yang lebih dalam dan utuh – Model Baitul Makmurnya dari Psikologi Transpersonalnya Ronggowarsito.
SANG AKU yang dimaksudkan oleh Ronggowarsito adalah aspek DIRI yang berada diluar segala bentuk. Inilah yang disebut Sumber, Tuhan, dan Wujud – dengan berbagai nama dalam Tradisi. Sumber atau Akar Diri yang berada diluar kesadaran adalah Sumber, Akar, Dasar keberadaan itu sendiri, Sumber segala manifestasi/alam semesta, dan Sumber Utama dari Energi yang mengejewantah menjadi semua Kesadaran/Kecerdasan.
Dalam qur’an – SANG AKU ini disebut ALLAH:
“Sesungguhnya AKU ini adalah ALLAH, tidak ada Tuhan selain AKU.”
(QS. Thaahaa : 14)
ALLAH adalah Tuhan-nya Manusia yang juga Tuhan Seru Sekalian Alam.
Rahsa: Lebih Dalam dengan Dimensi Metafisika Kesadaran
Yang menarik dari Model Diri Ronggowarsito adalah memperkenalkan elemen “rahsa”. Sebagai tingkat Kesadaran dan Eksistensi Diri yang lebih dalam dari jiwa atau roh sebagai pusat manusia. “Kebenaran Batin yang tersembunyi dalam jiwa”. Rahsa disini adalah perantara antara SANG AKU (TUHAN) dengan pusat manusia (jiwa/roh).
Lebih Jauh dengan Rahsa atau Sir,
Rahsa yang dimaksudkan dalam konsepsi Kesadaran Manusia oleh Ronggowarsito sebenarnya adalah apa yang dalam Tradisi Tasawuf Islam disebutkan dengan istilah teknis “Serr-i Haqq” – Sirrulloh atau Min Ruhi (Roh-KU) seperti yang diungkapkan dalam Qur’an:
“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya –“AKU”-akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari Lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila AKU telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya Roh-KU, maka tunduklah kepadanya dengan bersujud”.(QS Al-Hijr : 28-29).
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. (Q.S. Sajadah 7-9)
Min Ruhi atau “Serr – i Haqq” adalah Roh Universal. Roh Universal tidaklah didalam dan tidak pula di luar tubuh, tidak terlepas dari dan tidak terikat kepada tubuh, dia adalah keduanya, di dalam dan di luar, keduanya terlepas dan terikat. Semua roh individual adalah refleksinya. Dia adalah Roh Tuhan, yang ditiupkan dalam diri manusia - Nafakhtu fiihi min Ruuhii:
“AKU tiupkan kedalamnya roh-KU”
Dalam tradisi Buddisme, Roh Universal ini dikatakan sebagai: “Kedalaman ketaksadaran hakikat manusia. Laut Tanpa Dasar dari Hakikat Buddha”.
Serr- i – Haqq atau Sir adalah samudera kesadaran di latar belakang (background consciousness) sedangkan IQ, EQ, SQ adalah merupakan gelombang-gelombang yang berada diatasnya – modulasi dari aktivitas osilasi dasar.
“Ke-ruh-an” atau Roh Universal adalah SATU dengan AKU atau DIRI TUHAN sebelum manifestasinya dalam tubuh manusia. Roh adalah perintah (amr) dari TUHAN dan tidak termasuk dalam kategori penciptaan seperti malaikat, jin, hewan, tumbuh-tumbuhan, bumi, bulan, matahari, bintang, galaksi dan sebagainya, tetapi langsung dengan nafas Ilahi.
Pada saat Roh Universal belum masuk ke dalam tubuh ia merasakan segala sebagai sesuatu SATU ke-SATU-an. “AKU adalah Semua, dan Semua adalah AKU. Ia dapat melihat dan mengerti segala sesuatu tanpa keterbatasan. Setelah masuk kedalam tubuh, maka Roh Universal menjadi terbatas dalam bentuk sebagai jiwa individual dan tampak beragam. Keterbatasan dan keserberagaman ini timbul dari hubungannya dengan tubuh-tubuh. Seolah-olah ada roh saya, roh Anda dan roh manusia lain. Padahal hakikatnya roh saya, roh Anda, roh manusia lain adalah SATU, yaitu Roh Universal atau Min Ruhi.
“Roh segala jasad itu adalah satu, sedang yang berbilang itu hanya jiwa (nafs) atau (roh individual). Maka jiwa (roh individual) itulah yang mengalami mati, namun Roh Universal tidak akan mati, karena berdirinya Roh Universal itu adalah dengan Haq Ta’aala pada semua keadaan”
(Syech Abdul Ghani An-Nablusi)
Tubuh telah membuat kesadaran Roh Universal yang masuk kedalamnya menjadi terbatas dalam bentuk egoisme atau ke-aku-an. Sebagai ilustrasi untuk memahami hubungan antara roh individual dan Roh Universal adalah, seperti sekendi air di dalam telaga. Dimana, sebenarnya air dalam kendi adalah juga bagian dari air telaga secara keseluruhan. Air yang berada didalam kendi nampaknya terpisah dari air telaga hanya karena kehadiran bejana kendi itu – dimana dipisahkan oleh bejana kendi tersebut. Ibarat bejana kendi ini, tubuh telah menyebabkan roh individu yang merupakan bagian dari Roh Universal menciptakan “ego” yang terbatas sehingga merasakan kehadiran dirinya telah memisahkan diri dari Roh Universal. Tetapi ketika kendi dipecahkan, air dalam kendi akan menyatu dengan air telaga secara keseluruhan; ketika “egoisme” atau rasa individualitas itu lenyap dan tidak ada lagi perpisahan antara kesadaran roh individual dengan Roh Universal, maka akan muncul Kesadaran Universal menggantikan “egoisme” sempit.
Ketika manusia baru terlahir ke dunia (masih bayi), bejana “ego” nya sangat tipis sekali sehingga belum mampu membedakan antara “ego” atau aku dengan bukan “ego” atau selain aku. Bayi yang masih fitrah ini menyadari bahwa kesadarannya adalah kesadaran Roh Universal. Dengan tingkat kesadaran Roh Universal seperti ini, roh individual masih sadar bahwa dirinya yang merupakan bagian dari Roh Universal yang Eksistensinya SATU dengan Eksistensi SANG AKU (TUHAN).
Demikianlah Jiwa (roh individual), Rahsa (Roh Universal/Serr- i Haqq), dan SANG AKU (Tuhan) adalah SATU KESATUAN yang Tak Terpisahkan. Oleh karena itulah maka Tuhan itu sangat dekat, seperti dilukiskan qur’an:
“Dan apabila hamba-hamba-KU bertanya kepadamu tentang AKU, maka (jawablah), bahwasanya AKU adalah dekat.”
(QS Al Baqarah : 186).
Dan demikian, maka :
”Barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya”.
Jalan pengenalan Tuhan ini ditempuh melalui lorong-lorong Kesadaran secara bertahap dari luar ke dalam secara berurutan: memasuki kesadaran tubuh, kepada kesadaran intelek, kepada emosi, masuk kedalan jiwa (roh individual), dan melalui rahsa (Roh Universal) Bersaksi bahwa:
“Keberadaan Pusat dari Segala Eksistensi – adalah SANG AKU (TUHAN)”.
Dengan mengetahui Diri Sendiri berarti mengetahui Tuhan Sang Pencipta dan mengetahui Alam Semesta yang diciptakannya, tulis Rabbi Scheneur Zalman mengutip Teks mistik Yahudi kuno.
Pengetahuan tentang jiwa akan menuntun kita kepada “Pusat Diri Yang Paling Dalam” yang “Kekal”. Karena memang Tuhan ADA disini, di dalam Jiwa ini.